SITUS TUTORIAL BLOG

Selasa, 17 Januari 2012

Lelaki Kabut dan Boneka  (http://akmalgeger.blogspot.com/)



Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebenarnya ia
ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang
dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari,
rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang
diciptanya sendiri….
"Siapakah… lelaki… itu? Di…di… mana… dia?"
Orang-orang bertanya-tanya. Mengeluarkan suara gagap dengan tubuh
meremang gemetar. Wajah mereka pasi, serupa lilin-lilin di keheningan
musim dingin. Ya, mereka merasakan keberadaannya, tetapi mereka tak
yakin ia benar-benar ada. O, adakah lelaki yang bertahan hidup di balik
kabut selama itu? Dan sang lelaki, hanya ia sendiri yang mengetahui
bahwa ia sungguh ada.
Kelam merangkaki belukar malam. Kini lelaki itu kembali untuk
menebarkan nyeri dalam pekat. Di bawah sebuah pohon yang telah
meranggas, tangannya mengacung-acung ke udara, "Akulah semesta!"
Langit merah. Tanah pecah dan angin rebah. Kengerian berhembus
menerjang kabut, melewati lorong-lorong peradaban yang tergali oleh
waktu, membongkar kebiadaban diri di dasar yang paling sunyi. Ah, walau
Socrates hidup lagi, tak akan mampu untuk membawanya kembali ke
jalan perundingan.
***
"Aku akan menyiapkan semua," kata lelaki itu pelan sambil menyepaknyepak
kepala manusia yang berserakan di mana-mana. Diambilnya
sebuah tengkorak kepala kecil. Diamatinya beberapa saat. Pasti bayi yang
sangat mungil, pikirnya. Lalu dilemparnya tengkorak itu, seperti seorang
pelajar tanggung melempar batu pada pelajar lain di tengah kota. Angin
meniup benda itu, menerbangkannya hingga jatuh kembali entah di
mana.
Ya, angin memang selalu menerbangkan segala, juga kenangan. Bahkan
semua kenangan indah tentang diri dan keluarga. Tentang tanah airnya.
Kini yang tersisa adalah kebencian dan amarah. Dendam yang membelitbelit,
kabut dan tentu saja para boneka itu.
Tak akan ada yang mampu menghentikannya sekarang. Tidak juga
Tuhan, pikirnya pongah. Lelaki itu tertawa. Terbahak-bahak sampai keluar
airmata. Sebentar lagi ia akan menjadi manusia dambaannya: Si
Pemusnah. Ya, sebentar lagi ia akan sampai di puncak tujuannya:
memusnahkan tanah airnya sendiri!
Lelaki itu menatap ribuan boneka seukuran dirinya yang berada di
hadapannya. Boneka-bonenci. O, ia telah memindahkan letupan-letupan
angkara itu, gelegak laut dalam dirinya. Darahnya telah laut dan lautnya
berdarah dan….
"Berhentilah, Angkara! Berhentilah!"
Suara itu! Hanya suara itu yang berani memanggilnya demikian.
Perempuan itu! Perempuan yang bersamanya bertahun-tahun. Yang
menempati hati dan mengecup semua lukanya setiap saat, namun tak
sekali pun pernah memanggil namanya. Perempuan yang selalu
membuatnya sadar betapa berkuasanya ia, sang Angkara.
"Sunyi?"
"Ya, aku."
Sosok perempuan itu melayang dalam pandangannya, seperti baru saja
turun dari langit. Wajahnya masih pias seperti dahulu dan ia masih saja
menyukai baju-baju berwarna pucat dengan motif kembang-kembang
merah. Lelaki itu mengucek matanya sekali lagi kala melihat kembangkembang
itu mencair sebagai darah dan menetes-netes jatuh ke tanah.
"Mengapa kau kembali? Mengapa?"
"Aku tak kembali, sebab aku tak pernah pergi, Angkara."
"Kau sudah mati, Sunyi."
"Kau salah, Angkara. Kau yang telah lama mati."
"Mati? Aku tak bisa mati, bahkan bila aku mati!" suara lelaki itu terdengar
parau sesaat namun tetap menggelegar. "Kau tahu, Sunyi. Kalau pun aku
mati, aku akan mati bersama semua kehidupan di tanah ini."
"Dendam selayaknya hanya berhenti pada kata atau bergelinjang dalam
pikiran yang kerdil, tetapi ia tak boleh hadir di permukaan. Kau tahu
mengapa? Sebab Dia dan seluruh mahluk-Nya akan berpaling dari dirimu.
Jejak-jejakmu sebelumnya, bayanganmu pupus oleh kelam dendam yang
kau ukir pada seonggok darah dalam tubuhmu…."
Angkara mendesah. Mereka, seluruh orang di negeri ini pantas
mendapatkan itu, teriak batinnya. Bukankah selama bertahun-tahun
mereka merejam dan membunuh kemanusiaannya? Ya, bahkan tanpa
berpikir sedikit pun akan jasa-jasanya bagi negeri. Jadi mereka yang
menyulut peperangan ini. Orang-orang yang berbuat semaunya itu telah
merekayasa segala hingga ia menjelma orang sepotong. Jadi jangan
tanya ke mana perginya jiwa atau pun kemanusiaannya! Mereka telah
mencerabut itu semua dari dirinya dan menenggelamkannya dalam jelaga
lara tak berkesudahan yang membakar dada dan mencuatkan dendam
dalam langit-langit kepala.
Lalu ketika ada orang yang memberinya uang untuk membeli kepulauan
di luar negeri asalkan ia membuat tanah kelahirannya menjadi api, ia
tergeragap sesaat namun kemudian menganggapnya sebagai suatu tugas
suci. Ya, sebuah tugas suci untuk membersihkan segala yang ada dalam
negerinya dengan api. Hanya dengan api.
"Sunyi…," lelaki itu mendesah, memanggil perempuan yang selalu
dirindukannya.
Tetapi tiada jawaban.
"Kau tak pernah benar-benar ada, bukan?"
Sepi. Hanya kabut pekat menyelubungi.
"Kau hanyalah bayangan yang menarikan tari kebajikan untukku.
Memahatkan senyap yang menggigil dalam kalbu…," Lelaki itu mengusir
perih yang sesaat menusuk batinnya. Ia menarik napas panjang beberapa
lama.
"Sunyi! Sunyiiiii!" Ia terus memanggil perempuan tadi dengan suara yang
kian lama kian sengau. Sungguh, ia mencintai perempuan yang hidup di
batas khayal dan kenyataannya. Ia ingin perempuan itu melahirkan anakanak
mereka. Tetapi bukankah ia hanyalah keindahan yang tiada?
"Ayah! Ayah!"
Lelaki itu menoleh dan menatap ribuan boneka yang menghampirinya dari
berbagai penjuru, bagai kumpulan bocah taman kanak-kanak
menyongsong kedatangan ayah yang menjemput mereka dari sekolah.
"Aku telah melakukannya, ayah!"
"Kita berhasil, ayah!"
Mereka dengan mata menyala menggamit lengannya manja.
Meyakinkannya untuk melihat sesuatu yang telah mereka lakukan di
seluruh negeri. Dan dalam sekejap, lelaki itu merasa berada dalam
sebuah galeri yang memamerkan lukisan mahakarya yang tak seorang
pun mampu berkata kala memandangnya.
Dari kejauhan ia kembali mendengar gemuruh teriakan manusia, suarasuara
ledakan, tangisan bayi dan lirih para jompo memanggil-manggil
nama tuhan mereka. Ia dapat merasakan gedung-gedung yang runtuh
dan tubuh-tubuh yang pecah membentuk kepingan yang hampir sama di
udara. Ia mencium bau gosong dan merasakan geliat resah dan kesah
para pemimpin itu.
Hidung lelaki itu bergerak-gerak, menghirup dengan rakus aroma anyir
darah pada cakrawala, seolah itu adalah wangi kesturi.
Fffhuuihh, sebentar lagi ia akan keluar dari negeri yang poranda ini. Ya,
tak lama lagi, saat semua menjadi arang, hingga tak menyisakan
sejumput asa pun.
Ia bergegas ke tempat persembunyiannya yang jauh dari pusat kota.
Membaca semua koran yang diantarkan pesuruhnya. Hampir semua
mewartakan karya besarnya. Ia menyetel televisi. Matanya picing
menatap kegemparan yang menjadi mini di layar kaca. Rahangnya
mengeras dan gigi-giginya saling menggigit.
"Saudara, pelaku kerusuhan dan pemboman di sejumlah tempat telah
dapat ditangkap oleh aparat keamanan. Mereka adalah…."
Bibir lelaki itu melengkung ke bawah, sesaat kemudian ia terbahak-bahak
hingga airmatanya berlinangan. Ia menggoyang-goyangkan pantatnya di
depan wajah para aparat dan pejabat yang entah mengapa sesaat merasa
lega. Ia berjingkrak-jingkrak dan menarikan tarian aneh yang dulu hanya
bisa dibawakan oleh Calonarang.
"Tuhan tak pernah tidur, Angkara…," bisikan-bisikan Sunyi menerobos
setiap lubang udara yang ada di kediaman lelaki itu. Sesaat lelaki tersebut
merasa angin yang begitu kencang menampar-nampar wajahnya, entah
dari mana.
Tetapi lelaki itu tak peduli. Baginya Sunyi,Tuhan dan semua yang indah
hanyalah imaji risau yang melekat sesaat pada rona hitam hidupnya. Dan
dengan sekali kibasan, ia dapat mengusirnya.
Lelaki itu masih terbahak-bahak, masih berlinangan airmata. Kabut terus
bergerak membentuk gumpalan yang semakin pekat membungkus
dirinya. Di segenap penjuru negeri, para boneka bertepuk tangan.
Sementara itu orang-orang tak berhenti menggigil. Mereka tak mampu
lagi berjalan, hanya merangkak pada genangan merah dan tergelincir
berkali-kali. Setiap pagi, siang dan petang mereka menemukan lagi
tubuh-tubuh terbongkar yang membujur panjang, bagai jembatan tak
bertepi yang menghubungkan tiap daerah di negeri itu.
Dan mereka masih saja bertanya dengan tubuh meremang dan suara
darah: "Si…siapa… dia? Me…mengapa kalian belum juga…
menangkapnya?"

CERPEN"LORONG KEMATIAN" PENULIS TERKENAL HELVII TIANA ROSA

Lorong Kematian
Jod Selovic mengerutkan kening ketika mendengar siaran radio,
senja di bulan Juli 1995. Menteri Luar Negeri Inggris, Malcolm
Rifkind, menegaskan bahwa Bosnia Herzegovina, kini dalam
situasi aman dan damai. Ia menyatakan pasukan Serbia tak akan
lagi melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil.
"Gila," gerutu Jod Selovic. Diliriknya Dean Milovic, anak buahnya yang
sedang asyik menimang emas yang kemarin ia jarah dari puluhan mayat
wanita Bosnia korban perkosaan di barak mereka.
"Kau dengar, Dean? Tak ada perang lagi? Tak ada? Ha…ha…ha…."
Dean terkekeh juga. "Siapa yang bisa mencegah kita melumuri negeri
cantik ini dengan darah?"
"Aku bahkan mempunyai taktik baru. Lebih brilyan dari Ratko Mladic!"
sela Jod.
Oh ya?" Dean menaikkan alis matanya. "Apa itu, komandan?"
"Kau akan tahu," tegas Jod. "Ayo!" ia segera bangkit menuju lapangan, di
belakang barak prajurit. Dean tergopoh-gopoh mengikutinya. Lengkingan
pluit diikuti dengan suara panggilan berulangkali pada seluruh pasukan
terdengar. Kesibukan segera tampak di sekitar barak. Para lelaki tegap
dan gagah menuju satu titik temu: Komandan Jod!
"Saatnya pengarahan, minuman dan suntikan!" kata Jod pada sekitar lima
ratus prajuritnya. "Dean, siapkan!"
"Siap Komandan!" seru Dean. Cepat ia membagi lima ratus orang itu
dalam dua puluh kelompok.
Jod memperhatikan sambil menarik-narik hidungnya yang lancip.
‘Suntikan kesehatan’ dan ‘minuman kebugaran’ akan membantu
prajuritnya untuk beraksi melebihi angin bura mana pun. Berani dan buas.
***
Srebrenica lepas Isya. Kota yang poranda itu adalah dua mayat raksasa
yang mendekap mayat-mayat manusia yang tiada bisa dikenali lagi.
Bahkan udara seakan mati. Bangunan rapuh sisa reruntuhan, menjadi
tempat bermalam mereka yang kehilangan tempat tinggal. Sepi, dingin
ditingkahi suara serangga malam.
"Tidak, tak akan ada lagi pembantaian. PBB telah menjamin…," suarasuara
itu menghibur diri sendiri dalam dekapan malam.
Keheningan pecah seketika saat suara tank, bom, mortir dan berbagai
senjata mengoyak dan mencabik setiap sudut kota.
Para penduduk Srebrenica yang sejak tadi tak dapat memicingkan mata
barang sesaat menjadi panik. Tiba-tiba saja puing-puing reruntuhan dan
bedeng hunian tempat mereka berteduh dibombardir! Jeritan kematian,
pekik histeria dan berbagai rintihan membuat malam merah menangis.
Orang-orang berlarian sendiri tanpa arah, tanpa sempat mengajak atau
melindungi keluarga mereka. Bertemu Serbia berarti mati tanpa bentuk.
Maka tanpa berpikir lagi, ratusan orang memasuki hutan di tepi
Srebrenica. Itulah satu-satunya tempat yang aman, meski bukan mustahil
mereka menjadi mangsa binatang buas!
Satu persatu dari mereka rebah ke tanah, terkena tembakan dan mortir
sebelum bisa mencapai hutan. Kebanyakan para balita, wanita dan
orangtua. Ledakan. Di mana-mana api. Asap membumbung tinggi….
Jod Selovic berlari kencang sambil memuntahkan peluru dari senjata laras
panjangnya. Dan saat darah muncrat dan menggenangi jalan, terasa ada
kepuasan yang menyentak-nyentak dalam dirinya. Di hadapannya tak ada
manusia. Hanya hewan-hewan liar yang berlarian menyelamatkan diri. Jod
menembak domba dan sapi. Lalu ayam-ayam yang beriringan. Ketika
seekor harimau melintas, ia menembaknya berulangkali! Hewan-hewan
berlarian di pekat malam! Jod tak akan melepaskannya….
"Dean!" panggilnya.
Dean menyeringai. "Komandan, berapa yang kena?"
"Aku pemburu jitu! Pemburu jitu, Dean!"
Jod terus berburu. Domba-domba jatuh. Ayam-ayam menggelepar.
Rintihan mereka menyayat segala, juga bulan. Tetapi tak menyentuh
sedikit pun hati Jod dan anak buahnya
Suara riuh rendah para tentara Serbia yang menikmati perburuan mereka
tak teredam oleh derap tank-tank mereka baja. Tak lama sambil
mengusap peluh di dahinya berulangkali dan menenggak sebotol zilavka,
Jod memberi komando agar ‘perburuan’ dihentikan.
"Komandan, kami belum selesai!" protes para tentara.
"Kami akan menghanguskan hutan ini sekalian!" seru yang lain.
Jod Selovic mengangkat tangannya: "Mundur!" teriaknya. "Kita kembali!"
Dean Milovic dan ratusan tentara lainnya, meninggalkan tempat itu
dengan setengah hati. Biasanya Jod menyuruh mereka untuk selalu
menuntaskan masalah. Termasuk menghabisi nyawa setiap Bosnia, tanpa
satu pun yang luput. Tanpa ada saksi mata . Tapi kini….
"Komandan, bisa kau jelaskan soal ini?" tegur Dean sambil mengatur
napasnya.
Jod tersenyum, masih dengan dada yang turun naik. "Nanti kujelaskan.
Setelah minum dan mendapat suntikan sekali lagi di markas," ujarnya
kemudian, dingin, sambil mengisi kembali senjatanya dengan peluru.
***
Pukul 21.00, waktu Srebrenica. Semua seperti tak percaya mendengar
uraian Jod. Malam ini mereka akan mengepung pos PBB di tepi
Srebrenica!
"Kita akan merampas bahan makanan, senjata, hingga seragam mereka!"
tegas Jod. "Bila mereka mengancam atau melawan kita bunuh!"
"Mengapa harus demikian…, maksudku mengapa seragam mereka juga
harus kita rampas?" tanya seorang prajurit.
"Bodoh! Pakai otakmu bila berbicara. Kita akan menggantikan tugas
mereka ‘melindungi’ para penduduk. Jod terbahak-bahak. Diraihnya
‘minuman kebugaran’. Sambil minum ia terus tertawa-tawa,
menyampaikan rencananya.
Mata Dean Milovic berbinar-binar. Yang lain menyeringai atau
ternganga…, beberapa bergidik. Ah, semua tentara yang pernah mengenal
Jod berkata benar. Jod dan Ratko Mladic atasannya, bagai si kembar
pencabut nyawa yang maha licik!
"Dean, bagi kelompok! Saatnya minum dan suntik!"
Para tentara baret merah itu tertib masuk dalam kelompok masingmasing.
Siap untuk diberi minuman dan suntikan. Mereka merasa selalu
lebih segar,hebat dan tangguh bila sudah mendapatkan semua itu!
Kalau saja kalian tahu, pikir Jod. Bahwa suntikan dan minuman itu semata
untuk menghilangkan kemanusiaan kalian, seperti juga aku. Sebab
peperangan adalah ladang pembantaian yang dilakukan oleh mereka yang
bukan manusia. Begitu menurut Ratko Mladic….
Tak sampai satu jam kemudian iring-iringan sekitar lima ratus prajurit
telah sampai di Pos PBB, Srebrenica.
Jod cukup merasa takjub, ketika para petugas ‘pelindung’ kiriman PBB itu
terbelalak ketakutan menghadapi ancamannya. Bahkan pada akhirnya
mereka dengan sukarela menyerahkan bukan saja pakaian, juga semua
yang mereka miliki padanya.
"Dunia tidak boleh tahu kepengecutan kalian. Bila kalian buka suara kami
akan kembali dan ingat baik-baik, bila hal itu terjadi berarti kalian telah
mencoreng nama PBB di panggung internasional. Prajurit, ambil semua
bahan makanan, senjata dan obat-obatan!" perintah Jod.
Pemimpin pasukan PBB yang telah dilucuti dan cuma mengenakan singlet
serta celana pendek itu menggigil ketakutan. Anak-anak buahnya berbaris
menghadap tembok dengan tubuh bergetar.
"Pakai!" teriak Jod pada Dean sambil melemparkan pakaian seragam
pasukan PBB, lengkap dengan baret birunya!
"Hup!" Dean menangkapnya sambil tertawa-tawa. Ia segera melemparkan
seragam-seragam yang lain pada anggota pasukan Serbia. Dalam
sekejap, baret-baret merah Serbia telah berganti dengan baret-baret biru
pasukan PBB!
"Komandan, aku belum dapat!"
"Ya, aku juga!" kata beberapa prajurit pada Jod.
"Di mana cadangan seragam kalian?" bentak Jod seara mengangkat wajah
dan mencengkeram singlet yang dipakai kepala pasukan PBB itu.
Lelaki separuh baya itu menunjuk ke sebuah lemari dengan daku yang
nyaris rapat ke dada. Geram. Takut.
Setelah mendapatkan semua, dengan cerdik Jod memaksa tawanannya
masuk ke dalam markas. Sekitar dua ratus tentara itu dipaksa
berhimpitan dalam ruangan yang tak begitu luas, hingga mereka megapmegap
karena sulit bernapas. Lalu dengan angkuh Jod mengunci mereka
dari luar.
"Ayo kita ledakkan!" teriaknya.
Dean dan prajurit lainnya terbelalak. Para pasukan naas yang mendengar
gelegar suara Jod berteriak memohon-mohon. "Ampun, jangan ledakkan!
Jangan bunuh kami!" ratap mereka. "Tolong, kasihani kami!" lolong
mereka lagi.
Jod tersenyum sinis. "Pengecut! Dean, perintahkan pasukan kita
berangkat! Biarkan mereka seperti ikan-ikan dalam akuarium
kecil…ha…ha…ha….
***
Jod dan pasukannya menyelusuri jalan sebelumnya, tempat ribuan
manusia berlari menyelamatkan diri, beberapa jam lalu. Kini waktu
menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
Tak jauh dari hutan….
"Kalian yang berbaret biru, di depan!" perintah Jod. Para tentara
mengatur barisan mereka tanpa suara.
"Kalian yang berseragam asli, sembunyikan diri kalian di balik pepohonan
dan belukar!"
Kemudian Jod dan pasukannya meneruskan perjalanan menuju hutan.
Mata malam Jod yang terlatih menangkap kelebat-kelebat manusia yang
bergegas menyembunyikan diri, juga suara-suara tangisan yang ditahan.
"Halo…halo…., siapa yang bisa mendengar saya? Hutan telah dikuasai
pasukan PBB! Jangan takut, kami datang untuk menolong. Halo, halo….,"
suara ramah Jod menggema ke sekitar belantara.
Pelan-pelan, para penduduk yang menggigil karena lapar, sakit dan takut
itu mengintip-intip dari tempat persembunyian mereka. Lalu tak lama,
mulai bermunculan. Semakin lama semakin banyak. Wajah-wajah pias
mereka sedikit berseri memandang pasukan baret biru tersebut. Sebagian
lagi langsung bersimpuh lemas di hadapan beberapa tentara.
"Halo, halo, siapa yang masih bersembunyi? Kami pasukan PBB. Kami
akan membawa kalian ke tempat-tempat pengungsian."
Ratusan orang, tua, muda, anak-anak dan wanita bergegas meninggalkan
tempat persembunyian mereka tanpa ragu sedikit pun.
"Alhamdulillah, pasukan PBB datang…."
"Ya, kita tertolong…."
"Ah, aku tak kuat lagi."
"Hasanovic! Gervka! Keluar, bantuan telah datang!"
"Apakah anda mempunyai sepotong saja baclava, anak saya kelaparan…."
"Tapi, mau dibawa ke mana kami?"
Suara-suara penduduk yang merasa diselamatkan terdengar gembira. Jod
menarik napas panjang. Dua tugas lagi dan permainan selesai.
"Dean, suruh beberapa prajurit menghitung! Kumpulkan semua orang di
ujung sana!"
Dean bergerak cepat. Tak lama ia sudah kembali membawa berita. "Lebih
dari lima ribu orang. Sekitar lima ratus tewas oleh serangan kita
sebelumnya," suara Dean setengah berbisik.
Jod memandang ke kanan belantara. Ribuan orang terduduk menunggu
nasib mereka selanjutnya. Hanya itu pemandangan yang dilihatnya.
Nuraninya bahkan tiada tersentuh melihat bocah-bocah bermata jernih
yang terus memperhatikan mereka. Hatinya beku melihat para wanita dan
orang-orangtua yang resah gelisah. ‘Minuman’, ‘suntikan’ dan doktrindoktrin
militer Serbia telah menempanya menjadi Jod Selovic, komandan
penyambar nyawa. Demi tanah air, atas nama bangsa, ia memilih menjadi
manusia tak berperi!
Tampaknya tak ada di antara orang-orang Bosnia itu yang curiga.
Seragam, truk-truk tronton, semua menunjukkan kekhasan pasukan PBB.
Pasukan itu juga telah memberi mereka roti dan minuman.
Jod masih menatap orang-orang itu. "Dean, suruh para komandan pleton
memisahkan para lelaki dan perempuan!"
Suara-suara bingung terdengar, saat pasukan Jod memisah-misahkan
warga Bosnia tersebut.
"Jangan, jangan pisahkan! Ayah kami sudah tua!"
"Ivan, Ivan anakku!"
"Nuraa! Nuraa…."
"Diam kalian! Para lelaki naik ke atas truk-truk itu! Cepat!" teriak Dean.
"Ganti pakaian kalian dengan mereka! Cepat!" perintah Jod.
Para tentara Serbia yang bersembunyi di balik pepohonan dan kegelapan
malam, tiba-tiba muncul! Para penduduk sipil berteriak histeris. Beberapa
orang berusaha melarikan diri. Sia-sia! Darah segar mereka malah
kembali mewarnai malam.
"Buka baju kalian! Buka!" teriak para tentara Serbia berpet merah kepada
para lelaki. Rentetan suara tembakan terdengar memecah malam. Lalu
sebuah pesta dini hari digelar. Para tentara Serbia memaksa penduduk
sipil memakai seragam mereka. Dan sambil tertawa-tawa mereka bersalin
dengan pakaian peduduk sipil tersebut.
Kening Jod Selovic kembali berkerut. Hidungnya bergerak-gerak. "Angkut
para ‘tentara Serbia’ itu segera. Kita bantai mereka di tengah jalan!
Setelah itu kita undang para wartawan. Kita beri bukti pada dunia bahwa
tentara-tentara kita telah disembelih oleh orang-orang Bosnia
Herzegovina yang kejam ini!"
Para penduduk semakin dicekam ketakutan, tetapi mereka mencoba
sebisa mungkin menahan rasa ngeri dan pedih itu. Sebab satu gerakan
bisa berarti mati!
"Dean, selesaikan wanita dan anak-anak! Silakan berpesta, ‘pasukan
PBB’!
Tentara-tentara itu tertawa-tawa. Ketakutan warga memuncak. Semakin
memuncak!
"Aaaaaaaa!"
"Pisahkan para wanita hamil!" teriak salah seorang Serbia, terkekehkekeh.
Alis Dean terangkat. "Kau bilang janin ini perempuan ini lelaki? Percaya
padaku, ia pasti perempuan!" Tiba-tiba pedang panjang yang selalu setia
menemani Dean, bergerak cepat dan seketika membelah perut seorang
wanita hamil di dekatnya.
"Tidaaaak! Allaaah!"
"Sial, kau benar…, janin ini perempuan! Ha…ha…ha…."
Wanita hamil itu jatuh berlumuran darah, ke tanah dengan perut yang
terbelah. Janinnya dilemparkan ke udara. Lalu segera beberapa tentara
itu mencari wanita hamil lainnya. Oh, betapa mereka dahaga akan
hiburan! Tentu saja hiburan yang menyertakan taruhan!
Jeritan-jeritan kematian masih menerkam malam, menyayat bulan.
Mata Jod Selovic berkilat menatap kubangan darah yang menghitam
dalam gelap, tak jauh di hadapannya. Tugas terakhirnya kini adalah
membawa para penduduk Bosnia berseragam Serbia itu dan
membantainya di berbagai tempat. Ya, ia tahu tempat-tempat bagus.
Barak, jalanan…, atau gereja? Sama saja.
Jod menatap langit yang kelabu. Bila saja mampu, ia akan buat langit itu
retak dan berdarah.
Ia tertawa keras. Semakin keras menjelang pagi.

CERPEN"KETIKA MAS GAGAH PERGI'

Keettiikkaa Maass Gaaggaahh PPeerrggii


Mas gagah berubah!
Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu
benar-benar berubah !
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak
yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja... ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu
membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku
kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk
di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.
Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.
Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka
kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar
bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon
santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia
berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan
makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang
tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !
"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?"
"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering
membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?"
"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?"
Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesammesem.
Bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?
"Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran..., banyak
anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He...he...he.." kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan
masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah !
Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang
kubanggakan kini entah kemana...
--=oOo=--
"Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah
keras-keras.
Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di
depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa
membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
"Assalaamuálaikuuum!" seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
"Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita ? Kok teriak-teriak seperti itu
?" tanyanya.
"Matiin kasetnya !" kataku sewot.
"Lho emang kenapa ?"
"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab... ,
masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !"
"Bodo !"
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas
sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas
pasang di ruang tamu, Gita ngambek..., mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar."
"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru..., eh tiba-tiba
terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan..."
"Pokoknya kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Bagus, lho !"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar
Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana
kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya ?
"Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu
mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau
denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !" begitu kata Mas Gagah.
Oalaa !
--=oOo=--
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku
cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan
itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid,
ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau
baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi
buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,"Ayo dong Gita, lebih
feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin
kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut
ditrondolin gitu !"
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku
cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan
kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita !
Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya.
"Penampilanmu kok sekarang lain, Gah ?’
"Lain gimana, Ma ?"
"Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan
penampilan kamu yang kayak cover boy itu..."
Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga
lebih santun."
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju
koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino," komentarku
menyamakannya dengan sopir kami. "Untung saja masih lebih ganteng."
Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.
Mas Gagah lebih pendiam ? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak
seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan.
Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan.
Dan...yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya
Mas Gagah?
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling
beken di Sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak
menghargai orang !"
"Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat
sabar. "Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih
benar!"
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu..., sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa
hubungannya ?
Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. "Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak
pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!"
Si Mas tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali...," kataku.
"Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?" kata Mas Gagah sambil mengusap
kepalaku. "Coba untuk mengeti ya, Dik Manis !?"
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas
Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi
nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi
ngawur. Namun..., akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas
sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan
aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya..., yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja.
Kutarik napas dalam-dalam.
--=oOo=--
"Mau kemana, Git!?"
"Nonton sama teman-teman." Kataku sambil mengenakan sepatu. "Habis Mas Gagah kalau
diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!’
"Ikut Mas aja, yuk!"
"Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya.
Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin,
berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku
kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut
trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju
panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalaamu’alaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang
tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak
ngelirik aku..., persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?" tanyaku iseng.
Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah
nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt !"
Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman,
diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab..., yaaa begitu deh!!
--=oOo=--
"Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!" seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku.
Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan
baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?" ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" suaraku yang
keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk
menyapa saudara seiman kita," ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu
Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan
tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah
orang-orang yang eror. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar.
Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham."
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini.
Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
"Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita..., meski
kita kini punya pandangan yang berbeda," ujar Tika tiba-tiba.
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah...," kataku jujur. "Selama ini aku
pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih..."
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. "Aku senang kamu mau
membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian
kukenalkan pada Mbak Ana."
"Mbak Ana ?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah
hidayah!"
"Hidayah ?"
"Nginap, ya ! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!"
--=oOo=--
"Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan..., eh Mas Gagah !" tegurku ramah.
"Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" kata Mas
Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah," jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?" tanyaku sambil
mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina,
Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak
koleksi buku ke-Islaman..
"Cuman lagi baca !"
"Buku apa ?"
"Tumben kamu pengin tahu?"
"Tunjukin dong, Mas...buku apa sih?" desakku.
"Eit..., Eiiit !" Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. "Nih!" serunya memperlihatkan buku yang sedang
dibacanya dengan wajah setengah memerah.
"Nah yaaaa!" aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku
‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam’ itu.
"Maaaas..."
"Apa Dik manis ?"
"Gita akhwat bukan sih ?"
"Memangnya kenapa ?"
"Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab...," tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang
Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang
kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal
lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas
Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil
menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat
yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas
bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi
lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit..."
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat
peduli...
"Kok...tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas Gagah !" Ujarku sekenanya.
"Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja, Gita nyambung kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal
demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat
hidayah!
--=oOo=--
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktifitas yang kami
lakukan berbeda dengan yang dahulu.
Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau
ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila
sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
"Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan
rohaninya kapan?" tegurku.
Biasanya papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga.
Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah
antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di
sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang,
baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak
boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga
wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju
yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab, Git !" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!"
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak
Mama".
Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas,
di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau, tapi nggak sekarang...," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg
aktifitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh
sama Mas Gagah!
"Ini hidayah, Gita!" kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah
hidayah!"
"Lho?" Mas Gagah bengong.
--=oOo=--
Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam
acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu
pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak,"Hei,
itu kan Mas Gagah-ku !"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik
dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih
mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik
dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang
disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz
tenar yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya
dalam era globalisasi.
"Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang
wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas
muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri," kata Mas
Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini.
--=oOo=--
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan
memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali
mengucap hamdalah.
Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan
mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian
mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang
memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan
anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!" kuketuk pintu kamar Mas Gagah
dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang," kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??!" keluhku.
"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus..."
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau
di Masjid."
"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini," hibur mama menepis
gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
--=oOo=--
Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum
pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma?" duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!"
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku
berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!" Telpon berdering.
Papa mengangkat telepon. "Halo, ya betul. Apa? Gagah???"
"Ada apa , Pa?" tanya Mama cemas.
"Gagah..., kecelakaan..., Rumah Sakit… Islam...," suara Papa lemah.
"Mas Gagaaaaaahhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis
berangkulan. Jilbab kami basah.
--=oOo=--
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh
perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah.
Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.
"Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!" kataku emosi
pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku, "Sabar, Sayang..., sabar."
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas
Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah
bisa ceramah pada syukuran Gita kan?" air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari
kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas..., Mas...Gagah..., Gita udah jadi adik Mas yang manis.
Mas...Gagah...," bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal
kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis.
Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah..., Gita, Mama dan Papa butuh
Mas Gagah..., umat juga."
Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan
memanggil nama ibu, bapak, dan Gi..."
"Gita.." suaraku serak menahan tangis.
"Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya
untuk bertahan. Maafkan saya..., lukanya terlalu parah," perkataan terakhir dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
"Mas..., ini Gita, Mas...," sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai.. jilbab," lirihku. Ujung jilbabku yang basah
kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir..., Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya
tertutup perban. Wajah itu begitu tenang...
"Gi...ta..."
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
"Gita di sini, Mas..."
Perlahan kelopak matamya terbuka.
Aku tersenyum. "Gita... udah pakai... jilbab...," kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti
hamdalah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas...," ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk
mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramairamai.
Dengan sedih aku keluar. Ya Allah..., sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya
menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak
bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa
membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak..., Mas," kataku sambil
menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah
terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah
pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa...ilaaha...illa...llah..., Muham...mad...Ra...sul...Al...lah...," suara Mas Gagah pelan, namun
tak terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami
bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat jalan, Mas Gagah !
Epilog
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun Sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado
untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu
suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan
kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar
yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini...
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, Insya Allah akhwat!"
"Yang bener?’
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!"
"Kok nanya gitu?"
"Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!’
"Ganteng kan?"
"Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong ! Jihad itu... "
Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan ! Selamat jalan, Mas Gagah !

Sabtu, 14 Januari 2012

- papa kamu dokter spesialis jantung ya? jantungku berdetak kenceng banget kalo deket kamu. ================================================================
-mama kamu dokter mata ya? soalnya mata kamu indah banget. ================================================================                     -lihat deh, bunga-bunganya layu, soalnya mereka malu, kalah indah sama kamu. ================================================================              - kita itu kayak mata sama tangan, waktu tangan sakit, mata menangis. waktu mata menangis, tangan menghapusnya. ================================================================                               - kamu jago lari ya? kamu gak capek2 lari di pikiranku terus sih. ================================================================                       - aku berharap kita bisa sama2 terus kayak daging sama kuku ya. gak akan terpisah. ================================================================
- tau gak? perasaanku ke kamu tuh kayak merapi, yg bisa setiap saat meledak-ledak setiap kamu senyum sama aku.
================================================================
- cintaku simpel, tanpa rumus, TAPI HAFALAN. karena cintaku gak terhitung dan bakal aku inget sampe kapanpun. ================================================================ - kamu itu kayak kakiku menyertai dan menuntun kemanapun aku melangkah. ================================================================ - aku itu kayak XL sama ST12. selalu untukmu dan aku padamu. ================================================================ - dingin2 ginh aku gak perlu selimut lagi, kan dah ada kamu, yg menghangatkan aku dan hatiku setiap saat. ================================================================ - aku berharap kamu juga bisa jadi kayak mimpi, gak cuman setia waktu melek, tapi juga setia ada buat aku waktu merem. ================================================================ - aku mau menjadi rusuk, karena aku bisa melindungi sebuah hati yg lembut dgn diriku. dan hati itu adalah kamu. ================================================================ Musim Terindah adalah …. Ketika kau nyalakan pagi dengan senyummu Ketika kau payungi siang dengan sapamu Ketika kau tutup malam dengan belai manjamu I luv u… ================================================================ met malem yaa,,,, met bobo,,, jangan lupa berdoaa,,, mimpi indahhhh,,, mimpiin akuu yaaa,,,, aku sayang kamuuu,,, jangan pernah tinggalin akuu yaaa,,,,, ================================================================ Nih dah kusiapin makan siang yg istimewa buatmu: segelas cinta, sepiring rindu, semangkok sayang, sepotong kasih, secuil cemburu, dan sebuah doa.. Met maem yah.. ================================================================ 1 pohöN bs jd HuTAN. 1 seNyumaN bs jd /HATiAN. 1 seNtuhAN bs jd Hal yg TAk TrlupAkAN 1 orANg sprTimu bs jd rebutAN ================================================================ Hari hujan,, lihatlahh ke luar jendela. coba hitung titik air yang jatuh dari langit ! Sebanyak itulahh aku merindukanmu ================================================================ sms … sms … ada siapa disitu ? disini ada seseorang yang sayang denganmu. jika sayang denganku … sms balik donk … ================================================================ segitiga pny 3 titik ujung…segiempat pny 4 titik ujung…aku harap rasa syg qta sprti lingkaran yg tidak mempunyai titik akhir&tak berujung!!